Tuesday, April 12, 2011

Semangat itu harus tidak boleh redup!

Apa yang terjadi hari ini benar-benar membuat saya merasa bersalah, benar-benar bersalah. Saya tidak menyadari apa yang telah saya lakukan dengan tugas saya akhir-akhir ini. Terkadang, ketika mood sedang sangat buruk, ketika banyak porsi yang mesti dibagi, saya lupa kendali ada dimana. Saya membiarkan diri saya menikmati masa-masa jenuh terlalu dalam, padahal akibatnya bisa sangat nggak baik. Saya pikir jenuh adalah kewajaran, manusiawi, elemental. Ternyata itu kesalahan besaaarrrrrrrrrrrrrrrr

Damn! Ternyata tamparan itu bisa datang dengan begitu lembut dan baiknya. Sampai suatu saat datang seorang Ibu bersama kakaknya sore ini. Saat saya sendiri lagi kesusahan menangkap semangat yang kocar kacir. 

Dia menikah siri dengan seorang laki-laki. Sekarang memiliki 3 orang anak yang masih kecil-kecil. Sekarang dia melarikan diri dari rumah karena mengalami kekerasan fisik, kekerasan psikis dan penelantaran ekonomi dari suaminya.

Perempuan itu terus berkeinginan untuk menuntut nafkah dari PELAKU KEKERASAN itu untuk anak-anaknya. Dalam pola pikirnya masih mengkonstruksikan bahwa laki-laki adalah pemberi nafkah dan dirinya  sebagai seorang ibu yang tidak berdaya dan tak mampu melawan suami. Pikiran yang melemahkan diri sendiri itulah yang telah mengguyur kepala saya. Bahwa ada sebuah sentilan yang mengatakan "Ayo, bangun! Apa kamu tega membiarkan orang ini terus melemahkan dirinya?? Apa kamu tega dengan status "istri"nya  yang tidak diakui oleh negara? Apa kamu tega dengan nasib anak-anaknya yang diasuh oleh pelaku kekerasan?"

Oh, Tuhan ternyata tak satupun yang berhak untuk santai dengan segala urusan ini. Apalagi ketika melihat Ibu itu mengambil waktunya sekian menit untuk memikirkan kembali konstruksi baru itu. Ketika melihat Ibu itu merefleksikan dirinya di depan cermin baru yang lebih nyata. Ketika melihat Ibu itu mengamini bahwa dirinya mampu untuk mandiri dan memilih jalan hidupnya sendiri. Ketika melihat Ibu itu mengungkapkan rasa bersyukurnya memperoleh bekal hukum. Kalau itu semua dilukiskan dan diinderakan dengan kata-kata jelas-jelas wordless.

Hal yang menyenangkan terjadi ketika kakak dari Ibu itu, seorang bapak setengah baya yang lugu namun kritis luar biasa, bertanya, "Kok mbaknya dari tadi pakai istilah perempuan-perempuan terus? Biasanya kan orang-orang seringnya pakai kata "wanita". Wanita bukannya kedengaran lebih anggun ya, mbak? Pakai kata "perempuan" kenapa, mbak?"

Saya tersenyum (bahagia).

Karena seketika itu saya baru menyadari bahwa "semangat - itu - harus - tidak boleh - redup" ;)







Ketika Hidup Tiba di Titik Tempo Adagio, Rachmaninov

Rachmaninov Piano Concerto No.2: moderato  & adagio sostenuto kini menjadi bagian dari hidup saya, moderato yang pertama dan adagio mengikutinya. Ada bagian dari kehidupan yang diterjemahkan oleh komposisi karya Rachmaninov ini, rajanya-para-melankolis.

Saat pertama kali mendengarnya, terjerembab. Betapa tak bisa melepaskan tiap-tiap nada itu dari awal sampai akhir. Sergei Racmaninov mampu mendeskripsikan kisah seorang optimistik terbalik jiwanya dan akhirnya harus meniti temali yang kusut menjadi terurai kembali. Dia masternya. Dia master tentang hidup. Dia telah melewatinya, melewati segalanya sampai lewat setengah gila.

Dan Piano Concerto No.2 ini adalah pembalasan. Pembalasan atas rasa sakit ditolak dan tidak dianggap. Serta pembalasan budi untuk seseorang yang membantunya menemukan jalan kembali. Pembalasan yang riil dan sepadan.

Saya yakin, sebenernya dia tahu jawabannya mengapa dulu dia sempat "jatuh tersungkur", mungkin agar dia tak melupakan makna "bersusah-payah" di sepanjang partiturnya. Dia berdiri lagi dan berlari lagi lewat komposisi ini. Itu sebabnya karya ini ada, hingga ada orang yang begitu mencintainya. Saya! :)


 in moderato


in adagio sostenuto
 




Monday, April 11, 2011

Mengiris Isu

Lagi-lagi saya cukup dibuat bingung lagi oleh sesuatu hal yang sebenarnya nggak perlu terjadi. Nggak perlu terjadi andai orang-orang ini cukup nggak perlu ambil pusing kalau memang nggak ingin terlalu pusing. Orang-orang yang menghakimi sesuatu tanpa dasar yang logis.

Kasus Icha-Umar memang sedang santer-santernya di blow up oleh media massa. Akhirnya muncullah macam-macam opini. Dan yang mengkhawatirkan adalah pembentukan opini yang hanya bersumber dari media massa saja. Mungkin tidak akan terlalu bahaya jika sudah punya pisau tajam untuk mengiris interpretasi  media massa tersebut.

Feminisme ada karena ada banyak pertanyaan. Ada pemikir-pemikir yang terus bertanya. Mendasarkan pada berbagai hal yang melatarbelakangi, yang membuat terjadi, yang mengakibatkan sesuatu, apapun yang terkait ataupun yang akan dikaitkan. Sebenarnya "pisau feminisme" itu sederhana namun bukan dangkal. Ketika akar-akarnya menembus tanah dan kuat, maka jelas jika batang dipenggal sekalipun, cabang-cabang baru akan terus tumbuh.

Sikap selalu bertanya dan bertanya itulah yang harusnya terus ditumbuhkan oleh pemikir-pemikir. Ketika merasa tak punya lagi pertanyaan dan merasa cukup dengan sajian data yang ada, seperti makan di restoran siap saji, jika begitu maka sebenarnya dirinya telah meracuni tubuhnya sendiri.

Kondisi-kondisi yang tak mampu dideskripsikan oleh buku-buku maupun jurnal manapun, seharusnya yang paling penting untuk dijawab. Normatif itu penjara, egois dan nggak asik :p

Seperti kasus Icha-Umar ini, menurut media Icha telah mengaku ke kepolisian bahwa dirinya adalah laki-laki tulen. Apa yg membuat Icha membuat pernyataan seperti itu? Apakah ada paksaan? Ketakutan? Malu? Terintimidasi? Apa benar Umar tidak tahu bahwa Icha adalah transgender? Apa benar tahu tapi tak mengaku? Apa Umar juga takut? Apa Umar juga malu? Apa Umar juga merasa terintimidasi? Dari mana warga tahu bahwa Icha adalah laki-laki? Warga mendengar dari mana? Terpercaya atau tidak sumbernya? Apakah Icha benar-benar transgender? Atau Icha hanya berpura-pura menjadi transgender dan memiliki maksud-maksud tertentu? Apa Icha adalah homoseksual yang feminin? Pura-pura feminin? Atau memang batiniah dia feminin? Apa Umar heteroseksual? Biseksual? Homoseksual? Atau malah aseksual? Atau jangan-jangan Umar juga transgender? Pengukuran apa yang digunakan untuk mengukur kompleksitas orientasi seksual itu? Kenapa warga ribut dengan hubungan Icha-Umar? Apakah warga telah dirugikan atas hubungan Icha-Umar? Polisi akan menjerat Icha dengan pasal apa? Memenuhi unsur-unsur pidana saja, perdata saja, dua-duanya atau malah tidak keduanya? Siapa yang salah atas pencatatan pernikahan resmi mereka kemarin? Apakah birokrasi memang benar-benar bobrok? Apakah Icha benar memalsukan identitasnya? Jika iya, kenapa Icha melakukan perbuatan tersebut? Jika tidak, kenapa pernikahanya bisa dicatat di KUA? Jangan-jangan Icha sudah mendapat penetapan dari pengadilan atas identitasnya yang baru? Apa negara telah membuka akses yang mudah untuk warga negaranya yang ingin mengubah identitas? Apa negara telah melindungi warga negaranya atas kebebasan memilih identitas? Apa negara telah melindungi semua hak asasi warga negaranya? Kalau tidak ada perlindungan terhadap itu semua, lalu apa yang menyebabkan itu tidak terlindungi? Budayakah? Agamakah? Politikkah? dan mari terus mencecar dengan pertanyaan-pertanyaan hingga menukik. Masih ada ribuan pertanyaan lain yang bisa ditanyakan pada otak-otak kita :)


 Being non judgmental is important, of course!!! 


 

blogger templates | Make Money Online