Tuesday, November 15, 2011

Fiksi: "Aku dan Rasa Pahit"




Aku bertanya pada salah seorang sahabat terbaikku, “Apa hal terpahit yang pernah kamu rasakan?”

Sahabatku itu menjawab, “Pahit adalah sebutan yang tepat untuk hidupku, seluruh hidupku. Aku tak pernah sekalipun memiliki kisah manis dalam percintaan. Aku cukup malu untuk memulai kisah percintaan dengan seseorang. Yah, aku memang seekor ‘ayam’. Dari kecil hidupku terpisah dengan Ayah kandungku. Dia tidak sekali pun pernah menengokku sepanjang dua puluh tahun ini. Ibuku pun cukup bahagia dengan Ayah tiri dan anak perempuan kecilnya yang lucu dan manis yang kini terpisah denganku, yang saat ini berstatus anak rantauan yang terjebak di dalam kamar kos empat kali empat meter di ibukota Indonesia, Jakarta. Bekerja dari Senin sampai Jumat. Menjadi korban tetap kemacetan Jakarta, yang harusnya jam 7 pagi aku masih bisa ngulet di kasur dan jam 4 sore sudah bisa nonton drama Korea di televisi tapi di sini, di Jakarta, destinasi dalam Kota yang jaraknya tak sampai 10 kilometer harus ditempuh dengan waktu yang cukup untuk tidur siang dengan tenang. Saat pulang dan jalanan macet, aku hanya bisa melongo menatap kaca dari Kopaja yang lebih mirip dengan kaleng raksasa berjalan. Nggak ada teman pulang dan nggak ada sisipan sifat sok asik buat mulai ngajak orang asing yang duduk di kursi sebelah. Tidak ada kata lain yang lebih tepat untuk menggambarkan itu semua selain “pahit”.

“Jika pahit adalah hidupmu, maka pahit bagiku adalah diriku. Kepahitan kini aku sadari sebagai diriku. Mulanya aku menolak, namun ternyata pahit membawa orang mengerti bahwa pahit itu bukan elegi. Pahit bukan ironi. Pahit adalah rasa syukur. Pahit ada membawa aroma minuman ternikmat bernama kopi. Aku.”

Aku tersenyum menatapnya menatapku dari dalam cangkir sana. Aku tertawa geli melihatnya sok bijaksana, sok tegar. Kemudian kami tersenyum simpul menatap kepahitannya dan kepahitanku.


-Semarang, 14 November 2011-

Monday, November 14, 2011

Fiksi: "Sekotak Mimpi"


“Kamu punya mimpi?”

“Ada, aku punya sekotak.”

“Oya?”

“Aku punya sekotak, isinya banyak, tak terhitung. Tiap hari aku mengumpulkannya satu per satu. Dari dulu sampai sekarang. Aku tak pernah berhenti. Ketika ada yang mau bertukar mimpi, dengan senang hati aku  menukarkan mimpiku itu. Karena dengan saling melihat mimpi, maka aku dapat melihat kebesaran orang itu. Aku sering terpana, aku sering berdecak kagum, sering juga aku menangis terisak. Mimpi-mimpi itu sungguh luar biasa. Mengumpulkan, bertukar dan berbagi mimpi adalah kegemaranku. Maukah kamu bertukar juga denganku?”

“Mau. Tapi aku harus pulang dulu. Kita sedang di mimpi orang lain.”




-Semarang, 12 November 2011-

Saturday, November 12, 2011

Fiksi: "Kami dan Definisi-Definisi Itu"

Anjing melolong, kabut makin menepi. Aku dan dia masih lekat dengan secangkir kopi pekat dan obrolan yang hangat.

Kami saling menangkap kata. Kami saling bersentuhan dengan imaji. Dia makin mengerti arah pikiranku dan aku pun makin menyusuri alur pembicaraannya. 

Hingga suatu ketika aku memberitahunya hal yang paling aku sesali di dunia ini. Hal yang membuatku (masih) tidak dapat menerima kenapa aku lahir dan semua ini lahir.

Sungguh, sebenarnya saat ini aku ingin tertawa. Ekspresi mukanya sungguh memesona, aku suka raut penasaran itu. Raut menanti, terdiam dan kelopak matanya yang berkedip 10 detik sekali.

Kubuyarkan pandanganku. Aku pun kembali ke konteks pembicaraan. Aku menatap bibir cangkir di depanku. 

"Aku menyesal kenapa aku lahir setelah segala definisi di dunia ini lahir. Aku sama sekali tak diberi kesempatan untuk menamai dan mendefinisikan sesuatu itu sesukaku. Aku merasa seperti kelinci yang keluar dari topi pesulap, yang tahu-tahu muncul, yang kemudian didikte oleh segalanya yang sudah ada sebelum aku. Aku merasa seperti sayuran organik, yang tahu-tahu sudah ada di rak supermarket dengan barcode yang menempel di jidatku. Padahal sungguh, sungguh aku kecewa dengan definisi-definisi yang sudah ada. Beberapa di antaranya, aku sangat tak menyetujuinya. Definisi-definisi itu kacau balau." 

"Lalu kamu mau apa?"

"Aku hanya ingin redefinisi."

Arah mataku yang semula tertuju ke bibir cangkir, berpaling ke kedua bola matanya. Dia lekat memandangku. Kemudian dia berkata, "Mari kita melakukannya bersama."


-Semarang, 12 November 2011-





 

blogger templates | Make Money Online