Sunday, August 13, 2017

Kerut di Dahi



Memandangi kerut-kerut di dahi. Tanda bukti waktu mencetak perjalanannya. Kemudian memunculkan satu kesadaran bahwa waktu lari, aku malah hendak pergi. Memandangi kerut-kerut di dahi. Aku menua, sementara waktu terus menduplikasi dirinya. Kemudian ada satu pertanyaan, apa yang nampak jika yang lari dan pergi ini terhenti? Akal hidup, jiwa tumbuh, yang berwujud mati, dan mungkin hanya bersisa keyakinan di dahi.

Jakarta, 13 Agustus 2017


Sunday, July 30, 2017

Jeda



Sore yang gerah dan malam yang pucat ada jedanya, yaitu sebuah senja yang tak berat. Rumah-rumah reyot dan akar belukar juga ada jedanya, yaitu jalan setapak yang tak terlalu sukar. Di antara hidup dan mati ada jedanya, yaitu perenungan tentang laju dan henti. Cinta dan kejujuran tidak ada jedanya. Rapat berkelindan. Seharusnya mudah melihat.

Pari, 23 Juli 2017  

Saturday, July 29, 2017

Fiksi: Bopeng di Tangan Kiriku



Aku putuskan untuk berangkat hari ini.

Tubuhku, tatanan sosial, orang tua. Tiga hal yang aku sungguh pertimbangkan dengan sengit. Di dalam kepala bisa saja bicara tentang kebebasan tapi realita bisa saja tidak, seringnya tidak. Aku ingin membuat luka, aku ingin mengabadikan luka. Menyulapnya menjadi keindahan.

Aku pandangi bopeng kecil di tangan kiriku. Yang sebenarnya masih meninggalkan ingatan yang selalu melintas cukup repetitif dan tajam.

Sebuah kejadian bisa jadi lumrah meninggalkan bekas luka di tubuhku dan tak ada yang mengusiknya selain diriku sendiri. Sedangkan luka yang ingin aku buat, pada tubuhku sendiri, diusik sekian banyak nilai.

Aku putuskan berangkat hari ini. Menggambarkan lukaku di dekat bopeng ini. Wajah kecil sayu. Adikku.

Jakarta, 29 Juli 2017

Saturday, July 1, 2017

Lebaran Ketupat



Di sini kami punya adat merayakan Syawalan atau Bodo Kupat (lebaran ketupat) seminggu setelah Idul Fitri. Adatnya ya masak-masak lagi. Masak ketupat, lepet, opor, sambel goreng dan segala printilannya. Mungkin terdengar konsumtif tapi efeknya dahsyat lho. Pagi ini, tetangga mengirimkan semangkok sambel goreng telur lengkap dengan ketupat dan lepet. Tetangga kami itu Nasrani. Kota kami boleh saja tak punya moderenitas untuk dibanggakan tapi urusan keberagaman adalah degup jantung sejak lampau. Itulah kenapa ketika menyaksikan ibu kota, saya cuma bisa senyum sambil merem melek. Bukan perihal lain, hanya kebelet boker.

Monday, June 19, 2017

...


Berada di tengah bangunan dengan dinding yang menjulang. Tidak bisa pulang karena tembok ini menghadang. Atau memang sengaja membiarkan diri untuk tak pulang karena di sana hanya akan menjadi orang yang malang.

Berada di tengah bangunan dengan belukar berduri tajam. Kaki tak mungkin meninggalkan jejak di pertengahan malam. Atau mungkin harus menunggu matahari bangkit dari temaram karena dia mungkin bisa hapus raut-raut muram.


Jakarta, 19 Juni 2017



Sunday, June 18, 2017

Kepada Orang Rumah


Rumah bagi kami seperti tempurung kura-kura. Kami membawanya di punggung kami ke mana-mana. Segala nyawa, karakter dan nuansa rumah beserta kami. Kami memperoleh rasa aman. Kami memperolehnya dari hal yang paling sederhana: berbincang.

Beberapa bulan saya tidak pulang ke rumah. Tidak pula berbincang dengan orang rumah. Entah apa yang lebih menggoda hingga akhirnya benar-benar "meninggalkan" rumah beserta segala topik pembicaraannya.

Seperti berada di kapal yang limbung, dikoyak ombak, jungkir balik tak keruan. Bahkan kampretnya, saya yang sudah dicap tua ini, yang diharapkan menjadi bijak, terbalik menjadi anak kecil yang memarahi diri sendiri, "Kamu ke mana? Tidak ada di rumah, tidak juga di dalam diri kamu sendiri. Kamu hilang disapu waktu?"

Tempurung yang sedari tadi tergeletak di ujung ruang, saya panggul kembali. Kemudian mengetik satu pesan singkat, "Mah, Sabtu ini saya pulang." Sambil berdoa, semoga kapal yang limbung ini segera tegak tenang lagi.

Jakarta, 18 Juni 2017

 

blogger templates | Make Money Online