Wednesday, May 16, 2018

Fiksi: Cukup (berulang) Sekali



Cukup sekali mengatakannya. Aku sendiri tak tahu batas takutku sampai mana. Apakah dari Minggu menuju Senin sementara pekerjaan belum selesai? Apakah dari siang ke malam sementara sore saja aku ngos-ngosan? Atau apakah dari ujung kesadaran sampai lelapnya tidur sementara jiwaku teler entah di mana?

Sekali mengatakannya. Aku tak pernah paham logikaku terukur sampai seberapa jauh. Apakah dari satu sampai tak terhingga sementara yang diajarkan selalu nol dan satu? Apakah dari jalan ini dan kemudian lurus saja sementara ada keinginan untuk berbelok ke sana? Apakah dari mula ke ujung sana sementara putus di tengahnya? Ah, aku salah. Aku berulang kali mengatakannya. 

Sunday, August 13, 2017

Kerut di Dahi



Memandangi kerut-kerut di dahi. Tanda bukti waktu mencetak perjalanannya. Kemudian memunculkan satu kesadaran bahwa waktu lari, aku malah hendak pergi. Memandangi kerut-kerut di dahi. Aku menua, sementara waktu terus menduplikasi dirinya. Kemudian ada satu pertanyaan, apa yang nampak jika yang lari dan pergi ini terhenti? Akal hidup, jiwa tumbuh, yang berwujud mati, dan mungkin hanya bersisa keyakinan di dahi.

Jakarta, 13 Agustus 2017


Sunday, July 30, 2017

Jeda



Sore yang gerah dan malam yang pucat ada jedanya, yaitu sebuah senja yang tak berat. Rumah-rumah reyot dan akar belukar juga ada jedanya, yaitu jalan setapak yang tak terlalu sukar. Di antara hidup dan mati ada jedanya, yaitu perenungan tentang laju dan henti. Cinta dan kejujuran tidak ada jedanya. Rapat berkelindan. Seharusnya mudah melihat.

Pari, 23 Juli 2017  

Saturday, July 29, 2017

Fiksi: Bopeng di Tangan Kiriku



Aku putuskan untuk berangkat hari ini.

Tubuhku, tatanan sosial, orang tua. Tiga hal yang aku sungguh pertimbangkan dengan sengit. Di dalam kepala bisa saja bicara tentang kebebasan tapi realita bisa saja tidak, seringnya tidak. Aku ingin membuat luka, aku ingin mengabadikan luka. Menyulapnya menjadi keindahan.

Aku pandangi bopeng kecil di tangan kiriku. Yang sebenarnya masih meninggalkan ingatan yang selalu melintas cukup repetitif dan tajam.

Sebuah kejadian bisa jadi lumrah meninggalkan bekas luka di tubuhku dan tak ada yang mengusiknya selain diriku sendiri. Sedangkan luka yang ingin aku buat, pada tubuhku sendiri, diusik sekian banyak nilai.

Aku putuskan berangkat hari ini. Menggambarkan lukaku di dekat bopeng ini. Wajah kecil sayu. Adikku.

Jakarta, 29 Juli 2017

Saturday, July 1, 2017

Lebaran Ketupat



Di sini kami punya adat merayakan Syawalan atau Bodo Kupat (lebaran ketupat) seminggu setelah Idul Fitri. Adatnya ya masak-masak lagi. Masak ketupat, lepet, opor, sambel goreng dan segala printilannya. Mungkin terdengar konsumtif tapi efeknya dahsyat lho. Pagi ini, tetangga mengirimkan semangkok sambel goreng telur lengkap dengan ketupat dan lepet. Tetangga kami itu Nasrani. Kota kami boleh saja tak punya moderenitas untuk dibanggakan tapi urusan keberagaman adalah degup jantung sejak lampau. Itulah kenapa ketika menyaksikan ibu kota, saya cuma bisa senyum sambil merem melek. Bukan perihal lain, hanya kebelet boker.
 

blogger templates | Make Money Online