Aku bertanya
pada salah seorang sahabat terbaikku, “Apa hal terpahit yang pernah kamu
rasakan?”
Sahabatku itu
menjawab, “Pahit adalah sebutan yang tepat untuk hidupku, seluruh hidupku. Aku
tak pernah sekalipun memiliki kisah manis dalam percintaan. Aku cukup malu
untuk memulai kisah percintaan dengan seseorang. Yah, aku memang seekor
‘ayam’. Dari kecil hidupku terpisah dengan Ayah kandungku. Dia tidak sekali
pun pernah menengokku sepanjang dua puluh tahun ini. Ibuku pun cukup bahagia
dengan Ayah tiri dan anak perempuan kecilnya yang lucu dan manis yang kini
terpisah denganku, yang saat ini berstatus anak rantauan yang terjebak di dalam kamar kos empat kali empat meter di ibukota Indonesia, Jakarta. Bekerja dari Senin sampai Jumat. Menjadi korban tetap kemacetan Jakarta, yang harusnya jam 7 pagi aku masih bisa ngulet di kasur dan jam 4 sore sudah bisa nonton drama Korea di televisi tapi di sini, di Jakarta, destinasi dalam
Kota yang jaraknya tak sampai 10 kilometer harus ditempuh dengan waktu yang cukup untuk
tidur siang dengan tenang. Saat pulang dan jalanan macet, aku hanya bisa melongo menatap kaca dari Kopaja yang lebih mirip dengan kaleng raksasa berjalan. Nggak ada teman pulang dan nggak ada sisipan sifat sok asik buat mulai ngajak orang asing yang duduk di kursi sebelah. Tidak ada kata lain yang lebih tepat untuk
menggambarkan itu semua selain “pahit”.
“Jika pahit
adalah hidupmu, maka pahit bagiku adalah diriku. Kepahitan kini aku sadari
sebagai diriku. Mulanya aku menolak, namun ternyata pahit membawa orang
mengerti bahwa pahit itu bukan elegi. Pahit bukan ironi. Pahit adalah rasa
syukur. Pahit ada membawa aroma minuman ternikmat bernama kopi. Aku.”
Aku tersenyum
menatapnya menatapku dari dalam cangkir sana. Aku tertawa geli melihatnya sok
bijaksana, sok tegar. Kemudian kami tersenyum simpul menatap kepahitannya dan
kepahitanku.
-Semarang, 14 November 2011-