Anjing melolong, kabut makin menepi. Aku dan dia masih lekat dengan secangkir kopi pekat dan obrolan yang hangat.
Kami saling menangkap kata. Kami saling bersentuhan dengan imaji. Dia makin mengerti arah pikiranku dan aku pun makin menyusuri alur pembicaraannya.
Kami saling menangkap kata. Kami saling bersentuhan dengan imaji. Dia makin mengerti arah pikiranku dan aku pun makin menyusuri alur pembicaraannya.
Hingga suatu ketika aku memberitahunya hal yang paling aku sesali di dunia ini. Hal yang membuatku (masih) tidak dapat menerima kenapa aku lahir dan semua ini lahir.
Sungguh, sebenarnya saat ini aku ingin tertawa. Ekspresi mukanya sungguh memesona, aku suka raut penasaran itu. Raut menanti, terdiam dan kelopak matanya yang berkedip 10 detik sekali.
Kubuyarkan pandanganku. Aku pun kembali ke konteks pembicaraan. Aku menatap bibir cangkir di depanku.
Sungguh, sebenarnya saat ini aku ingin tertawa. Ekspresi mukanya sungguh memesona, aku suka raut penasaran itu. Raut menanti, terdiam dan kelopak matanya yang berkedip 10 detik sekali.
Kubuyarkan pandanganku. Aku pun kembali ke konteks pembicaraan. Aku menatap bibir cangkir di depanku.
"Aku menyesal kenapa aku lahir setelah segala definisi di dunia ini lahir. Aku sama sekali tak diberi kesempatan untuk menamai dan mendefinisikan sesuatu itu sesukaku. Aku merasa seperti kelinci yang keluar dari topi pesulap, yang tahu-tahu muncul, yang kemudian didikte oleh segalanya yang sudah ada sebelum aku. Aku merasa seperti sayuran organik, yang tahu-tahu sudah ada di rak supermarket dengan barcode yang menempel di jidatku. Padahal sungguh, sungguh aku kecewa dengan definisi-definisi yang sudah ada. Beberapa di antaranya, aku sangat tak menyetujuinya. Definisi-definisi itu kacau balau."
"Lalu kamu mau apa?"
"Aku hanya ingin redefinisi."
Arah mataku yang semula tertuju ke bibir cangkir, berpaling ke kedua bola matanya. Dia lekat memandangku. Kemudian dia berkata, "Mari kita melakukannya bersama."
-Semarang, 12 November 2011-
No comments:
Post a Comment